Pada dasarnya, reformasi bertujuan untuk suatu perubahan menjadi lebih baik. Setidaknya itu yang dimaksud oleh Pemerintah Indonesia dalam upaya pembangkitan dari krisis moneter di zaman Pak Harto. Namun nyatanya justru banyak tragedi-tragedi dan masalah-masalah yang timbul dari awal mula dicetuskannya era reformasi sampai sekarang.
Masih ingatkah tragedi di Dili yang menyebabkan Indonesia harus kehilangan Timor Leste? Peristiwa itu merupakan sambutan awal bagi era reformasi di Indonesia. Dibawah kepemimpinan Pak Habibie, Timor Leste berontak dan memutuskan untuk pergi dari pangkuan Bumi Pertiwi. Entah salah siapa tetapi yang jelas peristiwa tersebut cukup membuat Ibu Pertiwi menangis dan membuat reputasi Pak Habibie menjadi amat buruk. Hal itu juga merupakan salah satu faktor turunnya Pak Habibie dari singgahsananya, selain dari faktor kepentingan politik golongan.
Di masa pemerintahan Gusdur, permasalahan terus berlanjut. Bapak humoris ini dikenal dengan maklumatnya yang secara garis besar menceritakan tentang pembekuan MPR dan DPR yang justru mempercepat kejatuhannya. Amien Rais, selaku ketua MPR saat itu dengan sangat tegas mengecam maklumat yang semula diklaim sebagai dekrit. Pihak MPR dan DPR menganggap maklumat itu sebagai suatu serangan dari Pak Gusdur. Sebagai serangan balik, MPR atas usulan DPR mempercepat Sidang Istimewa MPR sehingga masa jabatan Pak Gusdur pun dipercepat. Mungkin tujuan dari pengeluaran dekrit itu adalah sebagai serangan untuk para oknum yang dengan sengaja mengusahakan agar Pak Gusdur hengkang dari singgahsananya. Namun ternyata dekrit itu atau tepatnya maklumat itu malah berubah menjadi senjata makan tuan. Lagi-lagi kepentingan politik golongan mengkontaminasi sistem pemerintahan di Indonesia. Ditengah konflik politik itu, permasalahan seperti KKN, inflasi, integrasi, dan lain sebagainya seperti terbengkalai dan tidak terselesaikan padahal tujuan dari reformasi itu sendiri adalah untuk menyelesaikan masalah-masalah itu.
Gusdur berakhir, Megawati berjaya. Akhirnya setelah penantian yang panjang, terlepas dari isu kepentingan politik golongan, Megawati berhasil menduduki jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia kelima setelah Gusdur. Megawati mewarisi utang Negara dan krisis ekonomi yang harus diselesaikan. Salah satu upaya yang dilakukannya saat itu ialah menjual Indosat demi membayar utang negara. Terlihat memang upaya itu dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara. Akan tetapi, Indosat malah jauh berkembang ketika dipegang oleh pihak asing dan justru mendatangkan keuntungan yang lebih ketimbang saat menjadi salah satu BUMN dulu. Namun, hal itu ternyata tidak dapat mengeluarkan Indonesia dari terpaan krisis ekonomi. Belum kelar masalah ekonomi, muncul masalah peneroran yang tiada henti menghujam negeri seribu pulau dengan seribu masalah ini. Hasilnya, pemboman malam natal, pemboman BEJ, Pemboman di Denpasar, dan lain sebagainya. Puncaknya adalah pada peristiwa Denpasar 13 Oktober yang menghadiahkan Indonesia sebuah status “Indonesia adalah sarang Teroris.” Tuntutan Aceh dan Papua untuk melepaskan diri pun terjadi di era Bu Mega dan belum menemukan titik temu penyelesaian masalah. Bangsa Indonesia saat itu dirundung cemas perihal harus tidaknya Ibu Pertiwi saat itu mengenakan baju hitam lagi seperti yang terjadi pada saat Timor Leste memaksa untuk lepas dari Indonesia.
Seribu masalah polimerisasi dan isomerasi dari era Bu Mega diwariskan mentah-mentah ke Pak Susilo Bambang Yudhoyono atau lebih dikenal dengan Pak SBY. Kiprahnya di dunia politik memang patut untuk diacungi jempol. Ia berhasil memfungsikan KPK dengan baik. Ia juga berhasil menenangkan gejolak yang timbul dari negeri Aceh dan Papua yang memiliki kesamaan nasib, sama-sama berada di ujung. Namun, Pak SBY tidak luput dari masalah khas dari setiap presiden yang menjabat di Indonesia. Kasus korupsi Bank Century, Gayus Tambunan, dan sekarang kasus korupsi wisma atlet sampai sekarang belum menemukan titik akhir dan terkesan ditutup-tutupi dengan kasus-kasus yang justru tidak ada kaitannya dengan politik seperti kasus video porno Ariel, kasus Malinda Dee yang pengangkatan payudaranya terkesan lebih penting daripada perkara korupsi yang dilakukannya, dan masih banyak lagi.
Masalah-masalah yang telah dipaparkan sebelumnya hanyalah sedikit gambaran dari betapa kacaunya Negeri kita saat ini. Kepentingan pribadi nampaknya merupakan biang keladi dari semua masalah yang timbul. Keadaan di Indonesia yang kacau itu diperparah dengan tindakan rakyatnya yang semena-mena melakukan demonstrasi dan kerap menimbulkan anarki. Akibatnya, bukan menyelesaikan masalah malah menimbulkan masalah baru. Jika hal ini terus terjadi, maka Indonesia akan marah pada kita dan meluapkan segala emosinya dengan menimbulkan bencana-bencana seperti tsunami di Aceh, gempa di hampir seluruh wilayah, letusan gunung, dan sekarang diisukan bahwa danau toba yang merupakan bekas letusan dari supervolcano sepuluh ribu tahun lalu akan meletus, juga anak Krakatau yang sempat diisukan akan meletus juga.
Memang susah untuk mewujudkan cita-cita reformasi dan menyelesaikan masalah-masalah di Indonesia. Namun, dapat dicicil dengan merubah diri sendiri yang semula berorientasi pada uang menjadi sesosok yang cinta Indonesia. Jadikan peristiwa-peristiwa masa lampau sebagai media introspeksi diri demi kemajuan bangsa di masa yang akan datang. Jika tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi?
By : M. Harry Pratama
XII Science 2